Inilah Tantangan Sertifikat Halal BPJPH bagi UMKM: Dari NIB ke Pendampingan LPH

Notification

×

Iklan

Iklan

Inilah Tantangan Sertifikat Halal BPJPH bagi UMKM: Dari NIB ke Pendampingan LPH

Senin, 08 Desember 2025 | 10:36 WIB Last Updated 2025-12-08T03:36:16Z

 


ZONAHALAL.ID JAKARTA --Di tengah meningkatnya kebutuhan akan sertifikat halal BPJPH, banyak UMKM masih kesulitan memenuhi syarat mulai dari NIB hingga bahan baku halal. Tantangan ini membuat pendampingan dari LPH seperti LPPOM menjadi sangat penting agar pelaku usaha bisa melangkah lebih cepat dan siap memasuki ekosistem halal yang terus berkembang.


Dalam geliat pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, sertifikasi halal kini berdiri sebagai kebutuhan penting sekaligus tantangan besar. Terutama bagi para pelaku usaha mikro kecil yang tengah berusaha naik kelas, sertifikat halal BPJPH bukan hanya sekadar label kepatuhan, tetapi juga kunci pembuka pintu pasar yang lebih luas. Di panggung UI Halal Expo 2025, Dr. Ir. Muslich, M.Si. sebagai Direktur Kemitraan dan Pelayanan Audit Halal Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM, menguraikan dengan lugas tantangan riil yang dihadapi UMKM serta upaya yang dilakukan LPH untuk mempermudah jalannya.


Indonesia memiliki jumlah pelaku usaha yang luar biasa besar. “Usaha mikro kecil itu 14 juta UMK yang punya Nomor Induk Berusaha (NIB). Makanan dan minuman 43 juta,” ujar Dr. Muslich. Namun tingginya angka ini berbanding terbalik dengan kepemilikan legalitas dasar, terutama NIB berbasis risiko yang kini menjadi syarat wajib untuk memperoleh sertifikat halal.


“Harus punya NIB berbasis risiko, ini syarat sertifikasi halal. Ini tantangan besar di skala usaha mikro dan kecil. Saya kira kita masih punya PR untuk memformalkan usaha tadi, salah satunya melalui dokumen NIB berbasis risiko ini. Karena kalau nggak punya maka nggak bisa juga daftar sertifikasi halal,” jelasnya, Senin (8/12/2025).


Pengalaman LPH LPPOM dalam menangani sertifikasi halal bagi skala UMK menunjukkan bahwa proses ini tidak bisa berjalan instan. Komitmen pendampingan menjadi kunci. Salah satu contoh besarnya adalah dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini tengah banyak diajukan untuk sertifikasi.


“Sekarang datanya ada lebih dari 15 ribu dapur MBG/SPPG, yang sudah tersertifikasi itu mungkin masih di bawah seribu. Kita harus berjalan dengan target MBG-nya,” ungkapnya. Meski demikian, ada titik terang: sebagian besar dari mereka sudah memiliki NIB sehingga pendampingan bisa difokuskan pada penyusunan dokumen dan pemenuhan persyaratan halal.


Namun, perjalanan menuju sertifikat halal BPJPH bukan hanya soal dokumen. UMKM juga menghadapi tantangan kesadaran regulasi yang masih rendah. “Tantangan yang utama itu memang kesadaran untuk kewajiban regulasi. Di UMK secara spesifik, kesadaran ini masih kurang. Kita belum menjangkau mereka secara sangat luas,” ujar Dr. Muslich. Berbeda dengan perusahaan besar yang cenderung menunggu sanksi atau permintaan konsumen, UMKM kerap terhambat karena belum memahami urgensi sertifikasi halal bagi keberlangsungan usaha mereka.


Tantangan semakin kompleks ketika masuk ke ranah rantai pasok. Bagi pelaku usaha kecil, memastikan seluruh bahan baku halal dari hulu ke hilir tidaklah mudah. “Memang yang tersedia untuk didapat kadang memang terbatas. Di produk tertentu mereka ada di rantai pasok yang belum siap sertifikasi halal,” jelasnya.


Contohnya, di daerah tertentu Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) bersertifikat halal sulit ditemukan. Akibatnya, pelaku usaha harus mencari alternatif sambil menunggu RPH tersebut menjalani verifikasi atau dorongan untuk menyelesaikan sertifikasinya.


“Untuk permasalahan seperti ini, perusahaan besar akan lebih mudah. Karena mereka punya kemampuan untuk mendorong vendornya untuk sertifikasi halal, atau mereka punya pilihan memilih bahan yang sudah disertifikasi halal,” tambahnya. UMKM di sisi lain acap kali terjebak pada keterbatasan—baik dari sisi anggaran, pilihan bahan, hingga minimnya informasi.


Dinamika regulasi juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri. “Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 748 Tahun 2021 tentang Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal, itu makanan minuman termasuk yang terkena wajib sertifikasi halal. Itu juga masih banyak yang belum siap sertifikasi halal,” ujar Dr. Muslich.


Tantangan semakin rumit ketika melibatkan bahan impor. Kondisi ini semakin menyulitkan produsen dalam negeri yang hanya membeli bahan dalam jumlah kecil dari distributor dan tidak memiliki daya tekan untuk meminta sertifikasi.


Untuk itu, diseminasi regulasi dan penyediaan informasi bahan halal menjadi sangat krusial. “Proses diseminasi regulasi kebijakan ini sangat penting, terutama untuk pelaku usaha mikro kecil. Menyediakan pilihan bahan-bahan halal juga ini penting,” tegas Dr. Muslich. LPH LPPOM pun mengambil langkah proaktif dengan menyiapkan daftar bahan halal yang bisa dipilih UMKM sesuai spesifikasi dan kemampuan harga, sehingga mereka lebih mudah memenuhi kriteria sertifikasi halal.


Selain penyediaan informasi, LPH LPPOM menjalankan berbagai program pendampingan konkret. “Kita juga punya jadwal literasi dan pendampingan, serta diseminasi kebijakan secara online dan offline itu cara kita untuk menjawab tantangan sertifikasi untuk mikro kecil,” ujarnya. Melalui rangkaian kegiatan seperti webinar,pengenalan sertifikasi halal, seminar di berbagai pameran, hingga berbagai program literasi dan pendampingan, LPH LPPOM berupaya memperluas pemahaman pelaku UMKM mengenai proses dan persyaratan sertifikasi halal.


Pelaku UMKM memerlukan jalur pembelajaran praktis, LPH LPPOM menghadirkan program “Pengenalan Sertifikasi Halal”, yakni kelas daring yang memberikan panduan langkah demi langkah secara mudah. Program ini dapat diakses melalui https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/ dan menjadi solusi efektif bagi pelaku usaha yang ingin memastikan produknya memenuhi standar halal tanpa mengorbankan efisiensi.


Perjalanan memperoleh sertifikat halal BPJPH bagi UMKM memang penuh tantangan—dari legalitas, pemahaman regulasi, rantai pasok, hingga kontaminasi silang dan keterbatasan literasi teknis. Namun melalui pendampingan yang terus diperluas oleh LPH seperti LPPOM, harapannya semakin banyak pelaku usaha mikro kecil dapat naik kelas dan membawa produknya menembus pasar yang lebih luas dengan kepastian halal yang terjamin. UMKM berkembang, kepercayaan konsumen terjaga, dan ekosistem industri halal nasional semakin kuat.